SANG KOMPRADOR
Diantara semilir angin pegunungan
Diantara tetes keringat petani malang
Sayup terdengar isak generasiku
Renungi alam …semakin gersang
Oh….hutan semakin tak berdaya
Saksi bisu tingkah laku manusia
Tebang habis tinggalkan kehancuran
Tak perduli nasib anaknya
Tak perduli nasib cucunya
Tak perduli nasib generasi nanti
Diantara damainya suasana desa
Hutan tropis…canda satwa
Gemerincik air pancuran
Dan bau tanah yang menggairahkan
Sekelompok petani bersarung ..menabur benih
Harap benih jadi pepohonan
Pepohonan yang kelak jadi belantara
Sementara di ujung seberang desa
Sekelompok perambah hutan
Dan bukan petani
Berdasi…aksi…melangkah pasti
Berlomba mengukur alam
Habisi Penghuni Hutan
Selembar surat sakti berharga sekian juta
Jabat tangan bersatu mencincang alam
Menyulap mahoni, angsana, meranti, kaliandra, jati
Ekaliptus, gmelina, sengon, agathis, pinus
dan lain lain…..dan lainnya-lainnya
Menjadi…sim salabim….
Pulp, partikel board, triplex, tiang, papan, korek api,
mobil, villa, deposito dan lain lain………dan lain lain
dan berkibarlah benderamu
lambang suci yang tak gagah lagi
Diantara batas belantara dan gubuk petani
Sekelompok perambah hutan
Punya rancangan dan izin merusak
Punya teknisi…praktisi dan amunisi
Mengangkangi adat…habitat dan aparat
Menebang dengan sejuta alasan
Demi kepentingan negeri tercinta
Demi kejayaan bangsa di mata dunia
Demi peningkatan devisa negara
Dan masih banyak sejuta alasan yang terprogram
Siap dimuntahkannya dengan satu gerakan telunjuk
Sementara sang tehnisi tahu
Menanam adalah deret hitung
Dan sang praktisi tahu
Diantara semilir angin pegunungan
Sekelompok petani… lapar dan masih bersarung
Sujud di atas lahan yang bukan miliknya
Lemah berdoa…ya Allah…ya Rabbi
Sadarkan mereka dari kebodohan makna lingkungan
Buka mata hati mereka…beri mereka rasa
Agar bisa mendengar apa kata alam
Agar bisa membaca tanda-tanda kemarahan alam.
Lihat…apa yang terjadi
Air hujan menampar sesuka hati
Tiupan angin menerjang tanpa halangan
Air-air pancuran tak lagi menetes
Anak-anak satwa yang kehilangan tempat berteduh
Dan ayunan cangkul petani
Yang semakin lemah menerjang batu
Dialam sana
Sekelompok perambah hutan
Tanpa sarung tanpa dasi
Menjerit tanpa ada yang mendengar
Meratap tanpa suara yang terdengar
Lirih penuh sesal berbisik
Anakku….
Maafkan kami yang tak bisa menjaga alam
Titipan yang kalian pinjamkan kepada kami
AziilAnwar
Majene, 4 November 1996
Majene, 4 November 1996
Pencipta puisi ini memperoleh penghargaan Kalpataru pada tahun 2003
No comments:
Post a Comment